Aneka Cerpen

Cerpen-cerpen Karya-karya Mudika Paroki Lintongnihuta

Minggu, 27 Juni 2010

Yang Terindah di San Damiano


Oleh: Martha Sitohang


Musim gugur akan berakhir kira-kira 1 minggu lagi, di sana terlihat manusia lalu lalang, boleh dipastikan mereka pulang dari keramaian kota atau baru pulang dari toko-toko pakaian, maklum musim dingin akan muncul bagai sekelibat lintas awan yang akan singgah di negeri ini dan akan bertengger di antara cemara-cemara yang tinggi ini. Di sana-sini banyak orang yang akan dan sedang memperbaiki rumah untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi musim dingin dan menyambut natal yang akan dibarengi dengan putihnya salju

Sedangkan aku, masih tetap duduk, terpaku di jendela kamarku. Cuaca terlihat mendung, sepertinya matahari pagi ini tidak siap untuk menyapa orang-orang yang lalu lalang di jalan sana, hari ini banyak tugas yang harus kukerjakan.

Sudah 3 tahun aku meninggalkan negeri indah Indonesiaku dan berkelana di dunia Amrik yang serba modern ini, yang memaksaku untuk selalu berusaha dan bekerja keras. Di sini aku sendirian, tidak satupun keluarga atau pun kerabatku, kecuali teman se Indonesia Inez yang sedang sakit dan perlu istirahat. Kuberesi semua rumahku, sementara Inez masih tertidur, ia demam, badannya lemas.

Sambil menunggu makanan dapat diangkat dari api, kunyalakan TV dan termenung mengingat negeriku yang jauh dari negeri yang super power ini.

“Ting….tong…” bel rumah berbunyi membuyarkan lamunanku, “wah! Siapa yang mau mengganggu pagi-pagi begini?” dengan langkah gontai ku membuka pintu, “Morning….!” Oh! Ternyata pak Pos yang mengantarkan sepucuk surat untukku, entahlah dari siapa, keningku berkerut mengingat-ingat nama penulis ini “Ignatius”, kulihat lagi alamat yang tertera, yah.. benar-benar adanya untukku.

Dengan perlahan kubuka surat itu, yang membuatku penasaran adalah tulisan tangan yang rapi. Hey….! Sepertinya aku pernah melihat tulisan ini! Dengan dag-dig-dug, aku membacanya.

Dear Kien!

Syalom !

Maafkan aku mengganggumu, mungkin kamu heran tentang surat ini

dan mungkin kamu perlu tahu yang menulis ini adalah seorang yang pernah menanti kehadiranmu dalam hidupku, tapi…. yang terjadi biarlah terjadi semua, kini aku telah pergi meninggalkan dunia yang pernah kita jajaki.

From:

Orang yang tak pernah menyesal mencintaimu

Paskal

Akh! Kini aku diingatkan kembali pada kisah 4 tahun yang lalu di Indonesia, aku yang bahagia terpaksa harus go dan berpisah, sekarang saya tidak tahu dia ada di mana? Dan tak tahu maksud dan isi surat ini, aku hanya bisa bayangkan wajahnya lagi. Dengan terburu-buru kuletakkan saja surat itu di atas meja, aku ingat Inez belum makan.

3 minggu telah berlalu, Inez sudah sembuh. Tapi aku dan Inez tidak keluar ke mana-mana, yah! Siapa yang berani keluar di saat hujan salju begini. Kami hanya mempersiapkan diri untuk mengikuti Misa malam Natal nanti.

“Nez… Inez…! Tolong siapkan sepatu kayu dan baju hangat ya… nanti kita mengikuti misa malam natal!” Teriakku. Samar-samar terdengar bunyi di telingaku suara Inez sebagai jawaban, sementara aku sibuk menghias rumah, memasang pohon natal dan membersihkan ruang tamu.

Tiba-tiba terdengar bel berbunyi: “ting…tong..”. setelah membuka pintu “Good Morning!” sapaku, “Madam! Tis’ so cold, may I come in?” aku mengangguk, mungkin ibu ini orang yang akan melanjutkan perjalanannya. Dan memang ia akan melanjutkan perjalanannya ke St. Lucia. Inez! Tolong ambilkan secangkir soup dan sepotong roti. Inez mengangguk, sedangkan aku mengambilkan sweater untuk ibu ini. Mungkin ibu ini lebih memerlukannya bisikku dalam hati. Terlihat wajah itu ceria, setelah minum ia berangkat melanjutkan perjalanannya. Dan aku bingung sendiri, nanti ke Gereja memakai apa? Sweater yang ku beli 3 minggu yang lalu telah ku berikan kepada si ibu tadi, aku hanya punya jaket yang tahun lalu, tapi yah… biarlah…. Aku toh sudah ikhlas..

Segala sesuatunya telah kuselesaikan, jam dinding telah menunjukkan pukul 6.00 sore, api diperapian telah dimatikan. Perjalanan ke Gereja sedikit melelahkan, di sana-sini terlihat pohon cemara, pohon yang mampu bertahan hidup di musim salju begini, pohon itu telah berubah menjadi putih oleh gumpalan-gumpalan salju. Dingin …. Dingin sekali malam ini. Dari kejauhan sudah terlihat Gereja Katholik San Damino begitu megah dengan atap yang ditutupi oleh salju. Lampu yang terang mempermegah Gereja ini. Kami berusaha mempercepat langkah.

Tapi tunggu! Dari kejauhan terdengar teriakan manis yang menyentuh hati berasal dari sebuah rongga suara anak kecil, kulirik jam tanganku. Setengah jam lagi, batinku. Aku menghampiri anak itu yang berlindung diantara cemara-cemara. Inez mendahuluiku ke Gereja, kulihat mata anak itu mengandung butiran-butiran kristal bening yang akan memecah, rambut ikalnya terlihat berhamburan, wajahnya kelihatan pucat, ia kedinginan. Tanpa ragu-ragu baju hangat dan syalku kuberikan padanya. Ku dekap tubuhnya dan kutuntun. Aku bertanya: “Can I have your name?”, “Anna”.

Sementara itu seseorang menghampiri kami, dan mungkin dari tadi sudah memperhatikan kami “Peace of Christ be with you!” aku tersentak, mungkin itu suara Pater, kami melangkah bersama, cowok yang tadi menghampiri kami rada-rada ku kenal. Yah.. memang benar, cowok itu calon pater, anehnya, dari tadi ia memperhatikanku yang kedinginan.

Seusai misa, aku kebingungan, bagaimana menuju rumah, anak kecil itu memegang tanganku, berseru: “Aunty! Are you all right? I’m so sorry…” “never mind! But, Would you like to come to my home tonight?” “really? Are you serious? Becouse I’m an orphan” “Oh….! Yes! You don’t sorrow, I’ll take care of you!” “Oh! I love it, Thank you”

Inez sudah berdiri disampingku menanti keputusanku untuk segera pulang, calon pater tadi sepertinya mengerti akan keresahanku : “Pakailah ini” ia mengulurkan jaket padaku, di sinar lampu yang terang kulihat wajahnya wajahnya yang tulus, namun walaupun begitu saya tetap ragu: “bagaimana dengan kamu?” “Kamu dari Indonesia ya! Kenalkan saya calon pater juga dari Indonesia, nama saya Ignatius” Ia mengulurkan tangannya, aku membalasnya, lalu aku, Inez dan Anna pun pulang.

Di perjalanan aku tidak habis pikir tentang dia, sepertinya dia itu

akh… tidak mungkin, di perjalanan kumasukkan tanganku dalam kantong jaket itu, aku tersentak karena ada lipatan kertas, ku ingin berbalik lagi, tapi Gereja sudah sepi.

Aku menyuruh Inez menyalakan api sedangkan aku memberi Anna makan, aku kasihan padanya, katanya sudah 2 hari ia tidak makan, ia yatim piatu tanpa seorangpun memperdulikannya. Pukul 10 malam Inez dan Anna tertidur sedangkan aku masih duduk termenung di atas sofa mengingat kejadian tadi. Tiba-tiba aku teringat dengan kertas tadi, dengan nekad kubuka lipatannya aku tersentak ada namaku di sana.

“Kien aku tak tahu kapan bisa tulisan ini sampai di tanganmu, aku tak bisa mengerti mengapa aku bisa sampai di tempat ini, kapan aku bisa lagi bertemu dengan gadis baik sepertimu. Kien.. di atas kertas polos ini, kunodai dengan tinta hitam tuk gambarkan hatiku dan perasaanku padamu, tapi…. semua telah terlanjur, aku kini Ignatius bukan Paskal lagi, aku kini telah pergi tapi aku ingin bertemu dengan mu sebab, bertemu dengan mu sudah cukup senang.

From : Ignatius

Kembali aku diingatkan pada kenangan saat SMU di Sulawesi, yah ternyata dia Paskal. “Paskal! Selamat Jalan, selamat bertugas, Tuhan sertamu”. Bisikku lirih dan akupun tertidur pulas.

Pagi itu aku terbangungun, kudengar Anna sedang memberesi rumah, dan Inez sedang memasak. “Selamat pagi Yesus” bisikku di pagi tanggal 25 Desember itu. Ketika aku membuka pintu depan: “Hah!…” aku kaget setengah mati begitu banyak kado-kado natal di depan rumah, herannya semua ditujukan padaku

“Anak yang baik! Berbahagialah di Natal ini, berbahagialah yang akan memilikimu, aku kirimkan bagimu sebagai balas jasamu yang merawat anak jalanan itu, aku akan selalu mendoakanmu” salam Paskal.

Masih banyak hadiah yang tanpa nama, salah satunya sweater, “Tuhan Engkau baik sekali”. “Selamat Natal Inez, Merry Christmas Anna”

Aku tersenyum menghadapi waktu, oh Gereja San Damino tempatku mengenal dia lagi, di sudut sana ia tersenyum melukiskan natal indah pagi ini, aku menghampirinya, kukembalikan sweater itu, kini isinya berganti dengan tulisanku. “Selamat Natal Pater!” Ia hanya tersenyum. Kembali aku berlutut dan berdoa: “Selamat Natal Yesus! kau beri aku hadiah lebih dari apa yang kuperbuat, kado natal pagi ini yang terindah kurasakan, bantulah aku mempersiapkan hatiku untuk menghadapi misteri hari baru Mu, melangkah ke tahun yang Engkau Rahmatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar