Aneka Cerpen

Cerpen-cerpen Karya-karya Mudika Paroki Lintongnihuta

Minggu, 27 Juni 2010

Cinta yang dikorbankan

Karya : Marta I Sitohang

Jam dinding berbunyi di ruangan yang penuh keheningan itu memecah kesunyian, “Hah … pukul 05.00 sore …? Wuaah … saya harus pulang” batinku.
Kulihat sejenak wajah yang begitu menunduk dan duduk resah di kursi itu. Sudah dua jam aku dan kau duduk di ruang rekreasi ini, tetapi belum ada kata yang muncul dari lubuk hati.
Perlahan kutarik nafasku, seragam sekolah ini masih setia melekat pada tubuhku yang mengartikan aku datang ke tempat ini langsung dari dari sekolah. Sekali lagi kutatap matamu yang bening dalam kekosongan dan menunggu ada waktu mengizinkan untuk mengungkapkan semua ini, dengan hati-hati sekali kuambil tas dari meja, teh yang di sana tidak kusentuh sama sekali, aku tahu kamu merasa agak kecewa, tapi mungkin akupun demikian.
“Pas… Saya pulang dulu yach …, hari sudah semakin sore !” akhirnya aku berani juga mengeluarkan kata-kata ini.
“Mar …!” kuarahkan kembali mataku padamu, kulihat segores wajah yang menandakan kekesalan “Saya bisa mengantarmu sampai terminal bus kan ?” Akh …., sungguh permintaan di luar dugaanku, aku hanya mengangguk dan berusaha tersenyum dan beranjak keluar. Hmmm… sinar jingga sudah mulai muncul menyinari kota Balige menambah indahnya pemandangan danau Toba.
Dengan penuh rasa yang tidak menentu aku dan kamu berjalan menelusuri jalan melewati asrama Don Bosco, saya bingung ada apa denganmu…. ?
“Mar...! Sabtu depan kami berangkat, kamu jangan lupain kami yah !” Hah… ? kata itu membuat aku terkejut. “Mau ke mana …?” tanyaku. “Kami akan melanjutkan study kami di Sulawesi”. Aku hanya bisa terdiam, dengan cepat kuayun langkahku, aku sedih…. Sedih sekali…sambil menunggu mobil kau menunduk lagi, akupun demikian. Dua mobil telah lewat, tetapi kamu masih memintaku untuk mobil yang ketiga, aku nurut saja, aku yakin kamu masih mau mengungkapkan sesuatu, tapi akh ….,sungguh sulit, aku masuk ke mobil yang ke kotaku, tapi kamu kok masih di situ ? pikirku, perlahan kamu buka jendela kaca mobil, aku hanya heran “Mar… aku sayang kamu” katamu perlahan lalu pergi, ku buka tas dan mengambil sepucuk surat yang kau beri, rasanya …. Aku ingin menangis membacanya, hati ini tak tentu rasanya “Oh Tuhan, inikah nasibku ? Disaat aku ingin mencintainya tapi ia akan dan harus pergi, ternyata air matakupun jatuh berlinang, aku kecewa sekali.
* * *
Suara bel pulang sekolah berbunyi, segera aku menuju ke infocorner. Hari ini Sabtu aku harus juga jaga bathinku, tapi pikiranku banyak masalah. Hari ini perpisahan mereka, barusan ini aku menerima sepucuk surat dari Paskah masih tertutup rapi, aku menghempas diri ke kursi, infocorner masih sepi, semua siswa udah pada pulang, saya menunggu tamu, tapi tiba-tiba aku tertuju pada Paskah ….. aku menangis lagi … tak tertahan rasa pilu di dada.
Ia pergi berarti ia akan jadi seorang imam, “percuma” pikirku “untuk apa aku menunggu hal yang tidak akan muncul ? tangisku semakin menjadi sementara aku tertunduk memuaskan tangisku. “Mar … maafkan aku, yakinlah aku kembali, kamu jangan menangis, aku mohon ..!”. Aku kaget, saya rasa kamu tidak tidak di sini, “Pas…! Aku tidak mungkin menunggu ! Kamu pergi menjadi seorang gembala dan mungkin tak akan pulang lagi Pas…! Aku takut dengan janjimu”. Isak tangis membuatku lelah.
“Pas …! Mengapa harus terjadi demikian … mengapa kamu mau mencintaiku … aku …”,
“Sudahlah Mar ….!” Kulihat matamu basah, saya tidak bisa membohongi hatiku “Aku janji Mar …! Aku janji akan mencarimu”. Dengan kata lain kalau memang harus meninggalkan panggilan ini, aku hanya bisa tertunduk.
Mobil putih telah menunggunya, ia bersama teman-temannya memasuki mobil itu. Perlahan mobil bergerak, masih sempat kulihat matamu yang basah dan lambaian tanganmu. Aku semakin pilu Pas…! aku pergi menjauh Pas…! Hatiku kecewa, entah mengapa aku ingin mengikuti jejakmu.
* * *
Wah ! Satu tahun sudah berlalu, aku tak pernah membaca surat maupun puisimu, aku berusaha melupakanmu, di asrama tempat calon Fransiskan ini aku merasa kesepian siantan tempat ini sepertinya hening “Ya Tuhan perkuatlah hatiku menjawab panggilan-Mu” bisikku lirih. Minggu depan aku berangkat sebagai suster yunior untuk praktek di kota Balige, ohh… tempatku SMA dulu.
* * *
Rasa dingin mulai merasuki tulang-tulangku setelah mobil yang kami tumpangi itu memasuki kota kecil ditepi danau toba ini, dari balik jendela kuamati kota kecil yang tak berubah sejak 2 tahun yang lalu.
Tiba-tiba pikiranku teringat akan Paskah, kira-kira di mana dia yach ?! apakah dia di Soposurung juga ? tanyaku dalam hati, tapi sejenak kupandangi diriku kembali, kulihat baju putih yang menyelimuti tubuhku, selayar coklat dan salib kecil yang turut menemani jubahku.
Wah kami udah nyampe, pertama-tama saya nelpon suster komunitas. Suster menerima dengan hangat dan menunjukkan kamarku lalu ditugaskan ke asrama putri, akupun langsung bersedia, tapi karna nanti ada malam paskah segera kuselesaikan tugasku, lalu berkenalan dengan anak asrama.
Tepat pukul 18.30 perayaan malam paskah akan dimulai, kami memasuki Gereja, sebagai suster muda aku belum berpengalaman, aku duduk saja di samping suster Micaell. Lonceng Gereja bergema di keheningan malam, para umat sudah memasuki Gereja, kidung paskah pun terdengar mengusik kalbu. Gereja Katholik St Yosep terlihat megah malam ini. Acara misa berjalan penuh hikmat hingga penyambutan komuni.
Tiba-tiba satu wajah yang telah lama kukenal melintas dari sampingku “Oh .. Tuhan ! mungkinkah dia itu ?, tapi tidak…. Tidak mungkin”.Misa telah usai, tapi pikiranku masih tertuju pada Paskah, di biarapun demikian, sejenak kupandangi salib Yesus di dinding kamarku “Tuhan Yesus kuatkanlah hatiku” doaku
Tiba-tiba suster komunitas memanggilku dan memesankan agar besok pagi lebih awal ke Gereja untuk menemani suster Bonifasya, aku mengangguk.
Pagi-pagi benar sekitar pukul 05.30 kami sudah di sana, saya sudah melihat 3 orang frater bekerja, hanya saja saya tidak mengenal mereka, maklum baru praktek pertama. Deg …deg…deg suara jantungku berdetak kencang menghancurkan rasa dinginpagi ini, ada kegembiraan tersurat dalam wajahku, tapi juga rasa kecewa, sedih terlukis di mataku.
“Pas …! Bisikku, tapi aku langsung pergi dan menangis, sempat terlihat olehku wajah yang penuh keraguan itu. “Mar …! Tunggu ! …tunggu!” suaramu memohon. Kuhentikan langkahku, kupandang sejenak salib kecil yang melingkar di lehermu, kamupun terdiam. “Maaf Mar..!” itu saja kau ucapkan. “Pas…! Kapan lagi kamu kembali ! aku tak pernah mau menunggumu lagi, sesal terlalu mendalam dalam jiwaku” isakku “Mar …! Aku minta maaf” Katamu lagi.
“Oh Pas..! tak ada yang perlu di maafkan, aku bisa mengerti , Tuhan memanggil kita bekerja di ladang-Nya kog” akhirnya aku berhasil menenangkan hatiku. Untuk terakhir kalinya kutatap lama wajahmu. Sang patung Bunda Maria jadi saksi bisu bahwa cinta tidak harus saling memiliki tapi cinta merupakan anugerah terindah yang boleh dikurbankan, suatu misteri agung yang dapat kita sembahkan “Cinta tulus kami ini kami kurbankan untuk-Mu ya Tuhan yang rela mati bagi kami, perkuatlah panggilan hamba-Mu ini, sertailah kami meniti panggilan-Mu, jadikanlah kami pekerja di ladang-Mu yang membuahkan buah anggur” doa ini kupanjatkan di sana saat kulihat wajahmu tenang. “Terimakasih Martina” bisikmu lembut dengan seulas senyum di balik air matamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar