Aneka Cerpen

Cerpen-cerpen Karya-karya Mudika Paroki Lintongnihuta

Minggu, 27 Juni 2010

Cinta yang dikorbankan

Karya : Marta I Sitohang

Jam dinding berbunyi di ruangan yang penuh keheningan itu memecah kesunyian, “Hah … pukul 05.00 sore …? Wuaah … saya harus pulang” batinku.
Kulihat sejenak wajah yang begitu menunduk dan duduk resah di kursi itu. Sudah dua jam aku dan kau duduk di ruang rekreasi ini, tetapi belum ada kata yang muncul dari lubuk hati.
Perlahan kutarik nafasku, seragam sekolah ini masih setia melekat pada tubuhku yang mengartikan aku datang ke tempat ini langsung dari dari sekolah. Sekali lagi kutatap matamu yang bening dalam kekosongan dan menunggu ada waktu mengizinkan untuk mengungkapkan semua ini, dengan hati-hati sekali kuambil tas dari meja, teh yang di sana tidak kusentuh sama sekali, aku tahu kamu merasa agak kecewa, tapi mungkin akupun demikian.
“Pas… Saya pulang dulu yach …, hari sudah semakin sore !” akhirnya aku berani juga mengeluarkan kata-kata ini.
“Mar …!” kuarahkan kembali mataku padamu, kulihat segores wajah yang menandakan kekesalan “Saya bisa mengantarmu sampai terminal bus kan ?” Akh …., sungguh permintaan di luar dugaanku, aku hanya mengangguk dan berusaha tersenyum dan beranjak keluar. Hmmm… sinar jingga sudah mulai muncul menyinari kota Balige menambah indahnya pemandangan danau Toba.
Dengan penuh rasa yang tidak menentu aku dan kamu berjalan menelusuri jalan melewati asrama Don Bosco, saya bingung ada apa denganmu…. ?
“Mar...! Sabtu depan kami berangkat, kamu jangan lupain kami yah !” Hah… ? kata itu membuat aku terkejut. “Mau ke mana …?” tanyaku. “Kami akan melanjutkan study kami di Sulawesi”. Aku hanya bisa terdiam, dengan cepat kuayun langkahku, aku sedih…. Sedih sekali…sambil menunggu mobil kau menunduk lagi, akupun demikian. Dua mobil telah lewat, tetapi kamu masih memintaku untuk mobil yang ketiga, aku nurut saja, aku yakin kamu masih mau mengungkapkan sesuatu, tapi akh ….,sungguh sulit, aku masuk ke mobil yang ke kotaku, tapi kamu kok masih di situ ? pikirku, perlahan kamu buka jendela kaca mobil, aku hanya heran “Mar… aku sayang kamu” katamu perlahan lalu pergi, ku buka tas dan mengambil sepucuk surat yang kau beri, rasanya …. Aku ingin menangis membacanya, hati ini tak tentu rasanya “Oh Tuhan, inikah nasibku ? Disaat aku ingin mencintainya tapi ia akan dan harus pergi, ternyata air matakupun jatuh berlinang, aku kecewa sekali.
* * *
Suara bel pulang sekolah berbunyi, segera aku menuju ke infocorner. Hari ini Sabtu aku harus juga jaga bathinku, tapi pikiranku banyak masalah. Hari ini perpisahan mereka, barusan ini aku menerima sepucuk surat dari Paskah masih tertutup rapi, aku menghempas diri ke kursi, infocorner masih sepi, semua siswa udah pada pulang, saya menunggu tamu, tapi tiba-tiba aku tertuju pada Paskah ….. aku menangis lagi … tak tertahan rasa pilu di dada.
Ia pergi berarti ia akan jadi seorang imam, “percuma” pikirku “untuk apa aku menunggu hal yang tidak akan muncul ? tangisku semakin menjadi sementara aku tertunduk memuaskan tangisku. “Mar … maafkan aku, yakinlah aku kembali, kamu jangan menangis, aku mohon ..!”. Aku kaget, saya rasa kamu tidak tidak di sini, “Pas…! Aku tidak mungkin menunggu ! Kamu pergi menjadi seorang gembala dan mungkin tak akan pulang lagi Pas…! Aku takut dengan janjimu”. Isak tangis membuatku lelah.
“Pas …! Mengapa harus terjadi demikian … mengapa kamu mau mencintaiku … aku …”,
“Sudahlah Mar ….!” Kulihat matamu basah, saya tidak bisa membohongi hatiku “Aku janji Mar …! Aku janji akan mencarimu”. Dengan kata lain kalau memang harus meninggalkan panggilan ini, aku hanya bisa tertunduk.
Mobil putih telah menunggunya, ia bersama teman-temannya memasuki mobil itu. Perlahan mobil bergerak, masih sempat kulihat matamu yang basah dan lambaian tanganmu. Aku semakin pilu Pas…! aku pergi menjauh Pas…! Hatiku kecewa, entah mengapa aku ingin mengikuti jejakmu.
* * *
Wah ! Satu tahun sudah berlalu, aku tak pernah membaca surat maupun puisimu, aku berusaha melupakanmu, di asrama tempat calon Fransiskan ini aku merasa kesepian siantan tempat ini sepertinya hening “Ya Tuhan perkuatlah hatiku menjawab panggilan-Mu” bisikku lirih. Minggu depan aku berangkat sebagai suster yunior untuk praktek di kota Balige, ohh… tempatku SMA dulu.
* * *
Rasa dingin mulai merasuki tulang-tulangku setelah mobil yang kami tumpangi itu memasuki kota kecil ditepi danau toba ini, dari balik jendela kuamati kota kecil yang tak berubah sejak 2 tahun yang lalu.
Tiba-tiba pikiranku teringat akan Paskah, kira-kira di mana dia yach ?! apakah dia di Soposurung juga ? tanyaku dalam hati, tapi sejenak kupandangi diriku kembali, kulihat baju putih yang menyelimuti tubuhku, selayar coklat dan salib kecil yang turut menemani jubahku.
Wah kami udah nyampe, pertama-tama saya nelpon suster komunitas. Suster menerima dengan hangat dan menunjukkan kamarku lalu ditugaskan ke asrama putri, akupun langsung bersedia, tapi karna nanti ada malam paskah segera kuselesaikan tugasku, lalu berkenalan dengan anak asrama.
Tepat pukul 18.30 perayaan malam paskah akan dimulai, kami memasuki Gereja, sebagai suster muda aku belum berpengalaman, aku duduk saja di samping suster Micaell. Lonceng Gereja bergema di keheningan malam, para umat sudah memasuki Gereja, kidung paskah pun terdengar mengusik kalbu. Gereja Katholik St Yosep terlihat megah malam ini. Acara misa berjalan penuh hikmat hingga penyambutan komuni.
Tiba-tiba satu wajah yang telah lama kukenal melintas dari sampingku “Oh .. Tuhan ! mungkinkah dia itu ?, tapi tidak…. Tidak mungkin”.Misa telah usai, tapi pikiranku masih tertuju pada Paskah, di biarapun demikian, sejenak kupandangi salib Yesus di dinding kamarku “Tuhan Yesus kuatkanlah hatiku” doaku
Tiba-tiba suster komunitas memanggilku dan memesankan agar besok pagi lebih awal ke Gereja untuk menemani suster Bonifasya, aku mengangguk.
Pagi-pagi benar sekitar pukul 05.30 kami sudah di sana, saya sudah melihat 3 orang frater bekerja, hanya saja saya tidak mengenal mereka, maklum baru praktek pertama. Deg …deg…deg suara jantungku berdetak kencang menghancurkan rasa dinginpagi ini, ada kegembiraan tersurat dalam wajahku, tapi juga rasa kecewa, sedih terlukis di mataku.
“Pas …! Bisikku, tapi aku langsung pergi dan menangis, sempat terlihat olehku wajah yang penuh keraguan itu. “Mar …! Tunggu ! …tunggu!” suaramu memohon. Kuhentikan langkahku, kupandang sejenak salib kecil yang melingkar di lehermu, kamupun terdiam. “Maaf Mar..!” itu saja kau ucapkan. “Pas…! Kapan lagi kamu kembali ! aku tak pernah mau menunggumu lagi, sesal terlalu mendalam dalam jiwaku” isakku “Mar …! Aku minta maaf” Katamu lagi.
“Oh Pas..! tak ada yang perlu di maafkan, aku bisa mengerti , Tuhan memanggil kita bekerja di ladang-Nya kog” akhirnya aku berhasil menenangkan hatiku. Untuk terakhir kalinya kutatap lama wajahmu. Sang patung Bunda Maria jadi saksi bisu bahwa cinta tidak harus saling memiliki tapi cinta merupakan anugerah terindah yang boleh dikurbankan, suatu misteri agung yang dapat kita sembahkan “Cinta tulus kami ini kami kurbankan untuk-Mu ya Tuhan yang rela mati bagi kami, perkuatlah panggilan hamba-Mu ini, sertailah kami meniti panggilan-Mu, jadikanlah kami pekerja di ladang-Mu yang membuahkan buah anggur” doa ini kupanjatkan di sana saat kulihat wajahmu tenang. “Terimakasih Martina” bisikmu lembut dengan seulas senyum di balik air matamu.

Kisah Sepasang Camar

Oleh : Frikawati Nababan

Bel sudah berdering semua siswa SMU Negeri 3 Surakarta masuk ke dalam kelas masing–masing. Pelajaran dimulai, untuk anak-anak kelas II b dalam menerima pelajaran dari pak Gatot bidang studi Agama Katholik.
“Pagi anak-anak !”
“Selamat Pagi Pak!”
“Anak-anak ! Pagi ini bapak akan memaparkan apa maksud dan tujuan dari Matius 18 ayat 22. Ada saatnya kita manusia merasa kuat, tapi kadang-kadang kita lemah. Oleh karena itu, untuk memaafkan kesalahan orang lain, kita tidak punya batasan jumlah, mau tujuh kali atau sepuluh kali ”.
Semua siswa memperhatikan pelajaran. Hanya seorang anak sepertinya sedang larut dalam kesedihan. Bapak guru merasa heran ada apa dengan anak yang satu ini. Akhirnya,
“Fandli, kenapa kamu tidak memper-hatikan materi yang bapak ajarkan ?”
Fandli tetap diam. Bapak guru mendatangi meja tempat Fandli duduk :
“Fandli ! kenapa kamu ! Apa kamu sedang sakit ? atau sedang…”
“Oh…maaf pak! Fandli kurang sehat”. Dengan nada yang kurang meyakinkan Fandli menjawab pertanyaan bapak guru.
“Ya.sudah! Kalau kamu sakit, istirahat saja di ruang UKS”.
“Nggak usah pak ! Fandli masih bisa mengikuti pelajaran dari bapak”.



Dan bel tanda istirahat pun berdering. Tiba–tiba seorang teman Fandli datang menghampirinya.
“Hm…m tumben ya ! Cowok yang aku kenal dulu periang, dan selalu bersemangat kini berubah 180 o menjadi seorang pendiam. Ada apa ya dengan sang pangeran ? sumpah deh, seumur-umur baru kali ini aku ngelihat orang ini seperti seorang anak kecil”.
“Ah, udalah ! kamu nggak usah berbasa-basi aku capek mendengarnya mending aku ke Perpustakaan dari pada ngomong dengan seorang Ati yang nggak pernah ngerti situasi yang aku hadapi, aku bosan tau nggak !”.
“Idih, galak amat ! Emang kamu kenapa sih ? Aku jadi penasaran deh !”.
“Udalah ! Emang kamu nggak akan pernah ngerti keadaanku !”.
Dengan wajah sinis Fandli meninggalkan Ati sendirian.

“Fandli ! tunggu !, …… Fan…. Uh…ini orang kenapa sih?”.



”Hai Ti ! Kamu kenapa ?” teman Ati tiba –tiba mengejutkannya dari belakang.
“Tau tuh tiba-tiba aja si Fandli jadi sinis sama aku !”.
“Emang Fandli kenapa ? Aku heran deh, sebelumnya kaliankan orang yang paling kompak, kok bisa sih jadi gini ceritanya ?”.
“Aku juga bingung sih, apa sih kesalahan yang telah kuperbuat ?”.
“Tapi Ti kamu nggak usah sedih, pulang sekolah nanti kita mampir aja ke rumahnya Fandli, gimana ?”.
“Ya deh Sis ! Aku tunggu kamu di gerbang nanti !”.
Setelah bel jam ke 7 berbunyi, semua anak-anak SMU Negeri 3 bergegas untuk pulang ke rumah masing-masing tak terkecuali Fandli.


Ati dan Siska juga bergegas untuk pulang. Seperti janji yang telah di sepakati, mereka berdua pergi ke rumah Fandli. Fandli udah sampai duluan di rumahnya, Ati dan Siska menyusul dari belakang. Fandli membuka pintu rumahnya,
“Kalian mau ngapain datang kemari ?”.
“Apa salah ! Kami berdua mampir ke rumahmu Fand ?”, dengan nada kecewa Ati melemparkan sebuah pertanyaan tanpa menjawab pertanyaan Fandli.
“Ya …! Nggak sih ! tapi ada perlu apa ya ?”
“Gini Fan ! Aku merasa heran deh, kamu tadi di sekolah seperti orang yang nggak tau tujuan .Ada apa sih ?“,
“Ya Fand kamu kenapa!” Siska juga berta-nya.
“Udalah Ti !, kamu nggak akan pernah ngerti !”
“Ya jangan gitu dong Fand ! Setidaknya kamu cerita ! Siapa tau kita bisa bantu”.
“Fand cerita dong kita nih jadi penasaran!” ujar Siska.
“Sebenarnya aku nggak ingin masalah pribadiku diketahui orang lain”.
“Apa Fan ?, jadi kamu merasa bahwa kita ini orang lain ? wah … aku nggak nyangka Fand ! aku nggak pernah berpikir orang yang selama ini sudah kuanggap bagian dari pribadiku, tega-teganya ngomong kalau aku itu sudah menjadi orang lain buat kamu, tega kamu Fand,” Ati berlari dan nggak ingin melihat tampangnya Fandli,
“Ti tunggu jangan tinggalin aku dong”, Siska berusaha menghalanginya langkah Ati tapi semuanya sia-sia.
“Yah ! apes deh gue udah ngawani si Ati ditinggalin pula”.

“Sis sorry ya ! aku nggak bermaksud melukai hati kalian berdua”.

”Makan itu sorry, udah tau keadaan-nya begini minta sorry lagi, makanya kalau mau ngomong jangan ceplas-ceplos pikir dulu, sekarang tau rasa kamu”. Fandli semakin bingung,

“Udah ! sekarang bukan waktunya bingung mending kamu pikirin gimana caranya agar Ati bisa ngemaafin kamu! Paham ?”
“Siska ! aku memang lagi ada masalahTetapi kau tahu kan, bagaimana sikapnya Ati, selalu cuek. Itu sebabnya aku merasa tidak perlu cerita”
“Okelah ! saya mengerti ! saya akan coba membujuknya besok”.
“Makasih Sis !”



Esoknya di sekolah :
”Ti ……..Ati ….. tunggu Ti ….!” Ati bersikap cuek dan tak ingin menoleh kebe-lakang. Fandli berlari menghampiri Ati.
“Ti tunggu dong !” akhirnya Fandli bisa juga menghampiri Ati meskipun dalam situasi yang kurang mengizinkan.
“Ti ! apa kamu masih marah soal yang kemarin?” Ati tetap diam.
“Ti please dong jawab aku apakah hanya karena soal kemarin kamu akan tetap diam dengan menyisakan 1001 tanya buat aku”. Udalah Fand ! semu-anya udah jelas dan sekarang kamu nggak usah lagi berusaha menyembunyikan semua kenyataan dari aku”.
“Ti ! jangan ngomong gitu dong”.
“Fand ! aku sudah tahu semua, kamu memang nggak pernah sayang sama aku, dan itu benar adanya dengan sikap kamu kemarin. Aku sudah muak Fand aku benci, sekarang mending kamu pergi dari hadapanku”.
“Ti ! please dong beri aku kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahanku”. “Udalah Fand semuanya nggak ada lagi artinya”.
“Ti ! kamu jangan dulu pergi, Ti !”, tetapi Ati cuek saja.


Di lain waktu Siska menemui Ati :
“Ti ! ingat tidak apa yang diajarkan oleh Pak Gatot waktu itu, kita sebagai manusia ada saatnya kuat, ada saatnya kita lemah. Memaafkan seseorang akan kelemahannya, bagi Tuhan itu sangat berkenan”.
“Lalu”.
“Fandli ! Memang kuperhatikan dalam kekompakan kalian, walau Fandli ada masalah, kamu selalu cuek”.
“Oh Tuhan ! Ampunilah aku !”.


Esoknya, Fandli sengaja menunggu Ati di depan Sekolah !
“Ati…. Ati…,!” Langkah Ati terhenti.
“Ati ! Aku mohon maaf atas sikapku yang sudah-sudah !”
“Fand ! Sebetulnya akulah yang harus minta maaf sama kamu, kuakui …!” Fandli menyentuh bibir Ati dengan jarinya.
“Udahlah ! tapi yang penting kau ketahui adalah bahwa aku sayang kamu !”
Perasaan Ati serasa terbang melayang-layang penuh kebahagiaan, bagaikan camar yang terbang mengitari lautan.

Yang Terindah di San Damiano


Oleh: Martha Sitohang


Musim gugur akan berakhir kira-kira 1 minggu lagi, di sana terlihat manusia lalu lalang, boleh dipastikan mereka pulang dari keramaian kota atau baru pulang dari toko-toko pakaian, maklum musim dingin akan muncul bagai sekelibat lintas awan yang akan singgah di negeri ini dan akan bertengger di antara cemara-cemara yang tinggi ini. Di sana-sini banyak orang yang akan dan sedang memperbaiki rumah untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi musim dingin dan menyambut natal yang akan dibarengi dengan putihnya salju

Sedangkan aku, masih tetap duduk, terpaku di jendela kamarku. Cuaca terlihat mendung, sepertinya matahari pagi ini tidak siap untuk menyapa orang-orang yang lalu lalang di jalan sana, hari ini banyak tugas yang harus kukerjakan.

Sudah 3 tahun aku meninggalkan negeri indah Indonesiaku dan berkelana di dunia Amrik yang serba modern ini, yang memaksaku untuk selalu berusaha dan bekerja keras. Di sini aku sendirian, tidak satupun keluarga atau pun kerabatku, kecuali teman se Indonesia Inez yang sedang sakit dan perlu istirahat. Kuberesi semua rumahku, sementara Inez masih tertidur, ia demam, badannya lemas.

Sambil menunggu makanan dapat diangkat dari api, kunyalakan TV dan termenung mengingat negeriku yang jauh dari negeri yang super power ini.

“Ting….tong…” bel rumah berbunyi membuyarkan lamunanku, “wah! Siapa yang mau mengganggu pagi-pagi begini?” dengan langkah gontai ku membuka pintu, “Morning….!” Oh! Ternyata pak Pos yang mengantarkan sepucuk surat untukku, entahlah dari siapa, keningku berkerut mengingat-ingat nama penulis ini “Ignatius”, kulihat lagi alamat yang tertera, yah.. benar-benar adanya untukku.

Dengan perlahan kubuka surat itu, yang membuatku penasaran adalah tulisan tangan yang rapi. Hey….! Sepertinya aku pernah melihat tulisan ini! Dengan dag-dig-dug, aku membacanya.

Dear Kien!

Syalom !

Maafkan aku mengganggumu, mungkin kamu heran tentang surat ini

dan mungkin kamu perlu tahu yang menulis ini adalah seorang yang pernah menanti kehadiranmu dalam hidupku, tapi…. yang terjadi biarlah terjadi semua, kini aku telah pergi meninggalkan dunia yang pernah kita jajaki.

From:

Orang yang tak pernah menyesal mencintaimu

Paskal

Akh! Kini aku diingatkan kembali pada kisah 4 tahun yang lalu di Indonesia, aku yang bahagia terpaksa harus go dan berpisah, sekarang saya tidak tahu dia ada di mana? Dan tak tahu maksud dan isi surat ini, aku hanya bisa bayangkan wajahnya lagi. Dengan terburu-buru kuletakkan saja surat itu di atas meja, aku ingat Inez belum makan.

3 minggu telah berlalu, Inez sudah sembuh. Tapi aku dan Inez tidak keluar ke mana-mana, yah! Siapa yang berani keluar di saat hujan salju begini. Kami hanya mempersiapkan diri untuk mengikuti Misa malam Natal nanti.

“Nez… Inez…! Tolong siapkan sepatu kayu dan baju hangat ya… nanti kita mengikuti misa malam natal!” Teriakku. Samar-samar terdengar bunyi di telingaku suara Inez sebagai jawaban, sementara aku sibuk menghias rumah, memasang pohon natal dan membersihkan ruang tamu.

Tiba-tiba terdengar bel berbunyi: “ting…tong..”. setelah membuka pintu “Good Morning!” sapaku, “Madam! Tis’ so cold, may I come in?” aku mengangguk, mungkin ibu ini orang yang akan melanjutkan perjalanannya. Dan memang ia akan melanjutkan perjalanannya ke St. Lucia. Inez! Tolong ambilkan secangkir soup dan sepotong roti. Inez mengangguk, sedangkan aku mengambilkan sweater untuk ibu ini. Mungkin ibu ini lebih memerlukannya bisikku dalam hati. Terlihat wajah itu ceria, setelah minum ia berangkat melanjutkan perjalanannya. Dan aku bingung sendiri, nanti ke Gereja memakai apa? Sweater yang ku beli 3 minggu yang lalu telah ku berikan kepada si ibu tadi, aku hanya punya jaket yang tahun lalu, tapi yah… biarlah…. Aku toh sudah ikhlas..

Segala sesuatunya telah kuselesaikan, jam dinding telah menunjukkan pukul 6.00 sore, api diperapian telah dimatikan. Perjalanan ke Gereja sedikit melelahkan, di sana-sini terlihat pohon cemara, pohon yang mampu bertahan hidup di musim salju begini, pohon itu telah berubah menjadi putih oleh gumpalan-gumpalan salju. Dingin …. Dingin sekali malam ini. Dari kejauhan sudah terlihat Gereja Katholik San Damino begitu megah dengan atap yang ditutupi oleh salju. Lampu yang terang mempermegah Gereja ini. Kami berusaha mempercepat langkah.

Tapi tunggu! Dari kejauhan terdengar teriakan manis yang menyentuh hati berasal dari sebuah rongga suara anak kecil, kulirik jam tanganku. Setengah jam lagi, batinku. Aku menghampiri anak itu yang berlindung diantara cemara-cemara. Inez mendahuluiku ke Gereja, kulihat mata anak itu mengandung butiran-butiran kristal bening yang akan memecah, rambut ikalnya terlihat berhamburan, wajahnya kelihatan pucat, ia kedinginan. Tanpa ragu-ragu baju hangat dan syalku kuberikan padanya. Ku dekap tubuhnya dan kutuntun. Aku bertanya: “Can I have your name?”, “Anna”.

Sementara itu seseorang menghampiri kami, dan mungkin dari tadi sudah memperhatikan kami “Peace of Christ be with you!” aku tersentak, mungkin itu suara Pater, kami melangkah bersama, cowok yang tadi menghampiri kami rada-rada ku kenal. Yah.. memang benar, cowok itu calon pater, anehnya, dari tadi ia memperhatikanku yang kedinginan.

Seusai misa, aku kebingungan, bagaimana menuju rumah, anak kecil itu memegang tanganku, berseru: “Aunty! Are you all right? I’m so sorry…” “never mind! But, Would you like to come to my home tonight?” “really? Are you serious? Becouse I’m an orphan” “Oh….! Yes! You don’t sorrow, I’ll take care of you!” “Oh! I love it, Thank you”

Inez sudah berdiri disampingku menanti keputusanku untuk segera pulang, calon pater tadi sepertinya mengerti akan keresahanku : “Pakailah ini” ia mengulurkan jaket padaku, di sinar lampu yang terang kulihat wajahnya wajahnya yang tulus, namun walaupun begitu saya tetap ragu: “bagaimana dengan kamu?” “Kamu dari Indonesia ya! Kenalkan saya calon pater juga dari Indonesia, nama saya Ignatius” Ia mengulurkan tangannya, aku membalasnya, lalu aku, Inez dan Anna pun pulang.

Di perjalanan aku tidak habis pikir tentang dia, sepertinya dia itu

akh… tidak mungkin, di perjalanan kumasukkan tanganku dalam kantong jaket itu, aku tersentak karena ada lipatan kertas, ku ingin berbalik lagi, tapi Gereja sudah sepi.

Aku menyuruh Inez menyalakan api sedangkan aku memberi Anna makan, aku kasihan padanya, katanya sudah 2 hari ia tidak makan, ia yatim piatu tanpa seorangpun memperdulikannya. Pukul 10 malam Inez dan Anna tertidur sedangkan aku masih duduk termenung di atas sofa mengingat kejadian tadi. Tiba-tiba aku teringat dengan kertas tadi, dengan nekad kubuka lipatannya aku tersentak ada namaku di sana.

“Kien aku tak tahu kapan bisa tulisan ini sampai di tanganmu, aku tak bisa mengerti mengapa aku bisa sampai di tempat ini, kapan aku bisa lagi bertemu dengan gadis baik sepertimu. Kien.. di atas kertas polos ini, kunodai dengan tinta hitam tuk gambarkan hatiku dan perasaanku padamu, tapi…. semua telah terlanjur, aku kini Ignatius bukan Paskal lagi, aku kini telah pergi tapi aku ingin bertemu dengan mu sebab, bertemu dengan mu sudah cukup senang.

From : Ignatius

Kembali aku diingatkan pada kenangan saat SMU di Sulawesi, yah ternyata dia Paskal. “Paskal! Selamat Jalan, selamat bertugas, Tuhan sertamu”. Bisikku lirih dan akupun tertidur pulas.

Pagi itu aku terbangungun, kudengar Anna sedang memberesi rumah, dan Inez sedang memasak. “Selamat pagi Yesus” bisikku di pagi tanggal 25 Desember itu. Ketika aku membuka pintu depan: “Hah!…” aku kaget setengah mati begitu banyak kado-kado natal di depan rumah, herannya semua ditujukan padaku

“Anak yang baik! Berbahagialah di Natal ini, berbahagialah yang akan memilikimu, aku kirimkan bagimu sebagai balas jasamu yang merawat anak jalanan itu, aku akan selalu mendoakanmu” salam Paskal.

Masih banyak hadiah yang tanpa nama, salah satunya sweater, “Tuhan Engkau baik sekali”. “Selamat Natal Inez, Merry Christmas Anna”

Aku tersenyum menghadapi waktu, oh Gereja San Damino tempatku mengenal dia lagi, di sudut sana ia tersenyum melukiskan natal indah pagi ini, aku menghampirinya, kukembalikan sweater itu, kini isinya berganti dengan tulisanku. “Selamat Natal Pater!” Ia hanya tersenyum. Kembali aku berlutut dan berdoa: “Selamat Natal Yesus! kau beri aku hadiah lebih dari apa yang kuperbuat, kado natal pagi ini yang terindah kurasakan, bantulah aku mempersiapkan hatiku untuk menghadapi misteri hari baru Mu, melangkah ke tahun yang Engkau Rahmatkan.